Jumat, 16 Maret 2012

pengalama religius versi muhammad iqbal


Pengalaman Religius Ala Muhammad Iqbal [I]
Agama dalam kehidupan manusia mungkin sudah tidak asing lagi perannya, bahkan banyak yang bilang bahwasanya agama adalah petunjuk dikehidupan umat manusia. Konon orang menjadi serba tahu akan segala hal dengan mengikuti agama, satu sisi memang ya begitu kenyataannya tapi disisi lain kita juga tidak bisa menafikan bahkan menutup diri bahwasanya agama banyak sekali memberikan sekat-sekat sekaligus membatasi diri untuk berkreasi ataupun berfikir lebih jauh tentang sesuatu. Agama terlalu spontan menjustifikasi segalanya, tanpa memperhatikan dialektikanya seperti apa masalahnya sampai pada akar permasalahannya. Apalagi kalau agama sudah berjalan secara mekanik dimana segalanya dipegang oleh penguasa ataupun pemilik agama itu sendiri, seolah-olah dialah yang paling tahu segalanya tentang kehidupan, seolah-olah hanya dialah penggerak agama. Ada benarnya juga penyataan Email Durkheim dalam hal ini, bahwasanya agama terlahir dari fakta sosial yang sekaligus membantu perkembangannya secara pesat itu, sehingga lahirlah sebuah kesimpulan yang menyatakan agama tak lebih dan tak kurang diartikan sebagai perekat sosial saja. Realitasnya terkadang ketika kita melakukan ritual keagamaan dalam kehidupan tanpa kita sadari sesungguhnya yang kita lakukan itu bukan semata muncul dari idea kita sendiri, melainkan beralasan moral.  Dari segi sosiologis agama mampu menciptakan solidaritas yang kuat dimasyarakat, sehingga berakibat pada kelangsungan proses sosial itu sendiri yang sekaligus menjadikan power bagi pemeluk agama untuk menggerakan masyarakat sesuai keinginan para penguasa agama.
Sering kali fenomena-fenomena yang terjadi ditengah kerumunan masyarakat bermotifkan agama demi kepentingan personal ataupun kelompok yang melibatkan keseluruhan kerumunan itu ikut andil di dalamnya. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan kekerasan yang bermotifkan agama, dimana masing-masing kelompok itu saling memegang kebenaran yang dijadikan pedoman bahkan prinsip dalam menata sedemikian kuatnya argumen-argumen mereka dalam menjalankan kehidupan. Terlebih dari sebagian mereka memponis adanya kekeliruan yang terjadi pada kelompok selain mereka, sehingga dengan adanya ponis tersebut sering kali kelompok yang divonis tidak menerima untuk disalahkan, dengan alasan prinsip ataupun aliran yang dianutnya berlandaskan kebenaran. Ada banyak permasalahan yang belum terungkap pada pemegang masing-masing kebenaran itu sehingga terjadi insiden diantara mereka, diantaranya barangkali kalau saja masing-masing dari mereka sadar bahwasanya proses keberagamaan itu tidak bisa ditanamkan oleh orang lain selain dirinya sendiri, pasti tidaklah akan terjadi saling ejek, saling gontok-gontokan, dst, yang berakhir dengan kekerasan. Ironisnya dalam wadah yang samapun sering terjadi konflik akibat perbedaan dalam hal pelaksanaan peribadatan, padahal hal itu bukanlah suatu permasalah besar dalam proses beragama melainkan hanyalah salah satu perwujudan yang unik guna menuju tujuan yang sudah ditemukan barangkali, itupun kalo memang ya merasa beragamanya dengan sepenuh hati dan keyakinan tanpa terkecuali.
Dari mana sebenarnya agama berasal? Disini agama dalam bentuknya yang memang sudah lebih maju, yaitu agama bergerak dari individu kepada masyarakat yang menyebabkan posisi agama itu sebagai suatu pegangan  dalam hidup menawarkan sebuah produk siap saji dalam istilahnya, dimana manusia tidak usah lagi melakukan sebuah pencarian Tuhan nya, manusia tidak usah lagi repot-repot membuat sedemikian peraturan dalam kehidupan. Ok lah dalam hal beragama manusia boleh punya prinsip seperti diatas sebagai pondasi keberagamaannya, dengan menerima dogma dan doktrin-doktrin yang diberikan oleh para pemuka agama. Janji atau kepastianpun sering kali diutarakan dalam doktrin seperti ini seperti halnya dengan hidup beragama kita lantas akan bertemu Tuhan, dengan beragama hidup kita menjadi tenang, penuh kedamaian, dan sejahtera. Pertannyaannya sederhana, apakah dengan perasaan tenang dan damai itu lantas kita dikategorikan bahagia? Karena salah satu tujuan dari hidup beragama itu memang mencari kabahagiaan. Bukankah kategori- kategori seperti yang dapat membunuh kreatifitas keberfikiran kita? Sikap kritis sebagai reaksi dari atas semua itu sering kali bergumam dalam benak “mungkinkah Tuhan itu dapat dijumpai lewat perbuatan yang penuh kekosongan tanpa disertai kesadaran?” ini dia barangkali yang menyebabkan kurangnya rasa kepercayaan pada diri sendiri sekaligus percaya pada Tuhan.  
Pada sisi ontologis agama juga dikatakan sebagai pengalaman individual. Proses seperti inilah yang diharapkan, memang pada dasarnya hal beragama yang paten mesti lewat pengalaman individu agar memiliki makna yang lebih berarti dengan kepercayaan yang kokoh tentunya. Agama lebih membutuhkan suatu dasar rasional daripada hanya sekedar dogma–dogma ilmu pengetahuan belaka. Ilmu pengetahuan tidak bisa mengenal arti metafisika secara rasional dan memang selama ini tidak mengenalnya. Maka sukarlah bagi agama untuk menutup mata dalam mencari suatu penyelesaian tentang pertentangan-pertentangan pengalaman serta alasannya tentang lingkungan tempat kemanusiaan menemui dirinya. Itulah sebabnya, mengapa Prof.Whitehead dengan tegas mengatakan bahwa “usia iman itu setua usia rasionalisme”.
Untuk penyelidikan lebih jauh tentang dasar-dasar rasional dalam Islam barangkali orang perlu memulai dari Nabi Muhammad sendiri.  Seperti yang telah kita ketahui, filsafat Yunani memang telah menjadi tenaga kekuatan yang luar biasa dalam dunia Islam. Sekalipun Islam sendiri tidak bisa menafikan kedahsyatan filsafat Yunani dalam dunia pemikirannya, salahsatunya mampu berperan membuka ahli-ahli pikir Islam yang dalam beberapa hal filsafat Yunani itu kemudian secara merata telah mengaburkan pandangan mereka tentang Al-Quran. Salah satu contohnya dalam logika Aristoteles yang menyatakan” manusia pasti bakalan mati, tumbuhan pasti bakalan mati, binatangpun pasti bakal mati”. Al-Quran pun memang membicarakan hal serupa yaitu ”setiap mahluk hidup pasti bakal mati”. Hal ini membuktikan bahwasanya temuan-temuan pola pikir umat manusia sebagian sudah diungkap jauh-jauh hari sebelum Al-Quran datang.  
Ada suatu pernyataan menarik yang patut digaris bawahi bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, yakni dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis. Garis besarnya dalam pembuktian filsafat tentang pengalaman religius yakni filsafat skolastik mengajukan beberapa argumentasi tentang adanya Tuhan. Yakni argumen kosmologis, teleologis dan argumen ontologis, merupakan suatu gerakan pemikiran yang nyata dalam usahanya  mencari jawaban tentang zat yang mutlak. Namun dipandang sebagai sebagai pembuktian-pembuktian logika, tidak terlepas juga dari kekhawatiran argumen-argumen tersebut, mudah sekali untuk mendapatkan kritik yang serius, dan disamping itu menunjukan suatu penafsiran yang agak  dangkal tentang pengalaman. Argumen kosmologis menganggap dunia sebagai suatu akibat yang terbatas, dengan memulai sebab akibat kita akan sampai pada sebab pertama, yakni sebab yang tidak diakibatkan oleh adanya sesuatu lain sebelumnya bila itu kita usut sejauh-jauh jangkauan pikiran. Argument teleologis juga tidak lebih baik, ia menyelidiki akibat untuk menemukan sifat-sifat sebabnya. Argumen ontologis, yang dikemukakan dalam pelbagai bentuk oleh banyak ahli piker, adalah argument yang senantiasa menarik hati alam pikiran spekulatif.
Berkenaan dengan pergolakan dalam hal beragama, bakalan lebih menarik lagi apabila kita membaca ataupun merenungkan puisi-puisi ASRAR-I-KHUDI dalam catatan awal menuju puisi-puisi Humanisme Timur Iqbal. Bukankah jalan yang berliku ataupun berbelok-belok itu lebih menyenangkan daripada jalan yang lurus, setidaknya bakal memberikan keasyikan tersendiri untuk mencapai sebuah tujuan beragama tentunya. sekaligus bercermin sejauh mana keberadaan kita saat ini? Atau adakah diri kita ini?

Pengingkaran Terhadap Pribadi

Pernahkah kau dengar kisah kehidupan dahulu kala
Dimana sekawanan kambing hidup bebas dipadang terbuka
Berkembang biak dengan leluasa dan tenaga mereka luar biasa
Hingga mereka berani menghadapi hewan pemangsa
Namun, karena perkembangan zaman semakin buruk
Panah bencana menancap di dada mereka
Dan dari huta belantara harimau datang memburu
Memangsa mereka semua.
Merebut serta menjajah adalah symbol kekuasaan
Kejayaan wujud dari kekuatan
Harimau yang dahsyat itu menabuh generang kemenangan
Mereka rebut kemerdekaan sang kambing.
Karena harimau harus mendapatkan makanan
Maka padang luas itu banjir oleh darah kambing.
Tapi, seekor kambing tua
Licik, penuh tipu daya seperti srigala
Dia amat sedih menyaksikan nasib kawan-kawannya
Kambing tua itu marah atas kebiadaban sang harimau
Namun dia pasrahkan keluh kesahnya dijalan takdir
Dan bertekad untuk memperbaiki nasib kaumnya.
Dan, hai, manusia yang lemah, lindungi dirimu
Gunakan akal budi
Biar terjerat penderitaan, asalkan lolos dari bencana kebiadaban
Badai pasti berlalu tapi apabila diperdaya dengan kesumat
Kekacauan besar yang dipikirkan.
“sangant menderita nasib kita,” keluh kambing pada dirinya,
“samudera penderitaan tak berpantai tak bertepi.”
Dengan kekuatan semata tak mungkin kita lepas dari bala
Itu tak mungkin, betapapun kita bersepakat
Merubah kambing berjiwa harimau
Merubah harimau berjiwa kambing-betapapun itu mustahil
Bagaimana membuat sesuatu lupa akan fitrahnya?? Mustahil!
Maka kambing itu menjelma seperti nabi yang mendapatkan ilham
Dia berseru kepada kawanan harimau:
“wahai kaum pendusta yang durjana
Yang tak peduli akan hari bencana
Yang berulang-ulang mendera dunia ini!
Aku memperoleh kekuatan ruhani
Akulah utusan Tuhan untuk kaum harimau
Aku datang bagai bagi mata buta
Aku datang membawa himbauan
Bertobatlah wahai engkau srigala dari segala laku tercela
Hai, kaum pendosa. Kembalilah kalian ke jalan yang bercahaya
Kita semua-tak terkecuali-pasti mengalami bencana:
Keteguhan haidup duniawi tergantung bagaimana kita menahan diri
Ruh orang saling gemar akan makanan sederhana
Makan sayur mayor membuka jalan menuju Tuhan
Gigi yang tajam mengundang bencana
Akan butalah mata hatimu.
Taman firdaus diperuntukan bagi orang-orang yang lembut
Kekukatan tenaga akan menciptakan malapetaka
Berdoalah mereka yang mengagungkan berhala kebendaan
Kemiskinan lebih manis dari segala harta duniawi
Kilat dan petir tak membakar bibit gandum
Tapi jika bibit menjadi tumpukan gandum itu keliru.
Jika kau bijak, jadilah sebutir pasir, bukan gurun sahara
Agar kau rasakan nikmat cahaya matahari
Wahai kau yang menikmati penyembelihan kambing
Coba kau bunuh dirimu sendiri, niscaya akan kau raih martabat tertinggi
Hidup gelisah oleh penindasan, kekerasan, dendam kesumat dan kekuasaan.
Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya untuk maut dari mata.
Jika kau bijaksana, ayo lupakan dirimu
Kalau tak sanggup kau menahan diri, kau orang yang gila
Redam pancainderamu
Agar cintamu mencapai langit
Dunia tak abadi
Hai si bodoh, jangan siksa dirimu dengan impian kosong!”
Kawanan harimau itu telah teramat lelah dengan perjuangannya
Kini mereka puas mereguk pesta pora.
Petuah sang kambing begitu nikmat bagi mereka
Lalu mereka resapi pesona kambing dengan nikmat
Mereka ikuti ajaran agama sang kambing
Mereka pun kini gemar makan makanan sederhana
Watak keharimauan mereka hapus sudah
Makanan yang sederhana menumpulkan gigi mereka
Berangsur pupus pula keberanian dari dada mereka
Kaum harimau jadi lemah dan apatis
Sirna sudah kedaulatan dan keteguhan tekad bangsa merdeka
Tak ada lagi kejayaan
Kaki mereka yang setegar baja kini tak berarti sama sekali
Jasad mereka tinggalah kubur kenangan bagi kematian jiwa
Tak ada lagi kekuatan jasmani, kini tinggal takut dan cemas menebal
Dalam jiwa yang goyah, keberanianpun mati
Tak kuasa lagi menebar penyakit dan bencana-
Miskin, waswas, dan rendah amal kebajikan,
Harimau perkasa puas lena akan pesona filsafat kambing
Dinamainya kemerosotan era ini dengan: Kebudayaan Peradaban

postmodernisme

POSTMODERNISME
(Sebuah Gerakan Kritik Terhadap Modernisme)
Oleh : M. Ja’far Nashir, M.A


A.     APA ITU POSTMODERNISME ?
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu.[1] Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Loyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru.
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Maxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu – biasanya mereka tidak berbicara tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”, seperti misalnya Rorty atau Derrida – amat beraneka cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”, sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.[2]
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, adasesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur “posmo”-nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Sehingga pendekatan “postmodernisme” dapat ditentukan, misalnya, dalam Pascal (+1662), Vico (+1744), Kant (+1804), Hegel (+1831), Stirner (+1856), Nietzche (+1900), Heidegger (+1976), Popper (+1994), dan Adorno (+1969). Adalah jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.[3]

B.     CIRI-CIRI POSTMODERNISME
Akbar S. Ahmed[4] terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks[5].
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain[6] :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya.
Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian.
Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar – bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu :
(1)       kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
(2)       modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
(3)       erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

C.     KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Menurut Magnis Suseno,[7] setidaknya ada tiga kelemahan “postmodernisme”, yaitu :
1)      “Postmodernisme” buta terhadap kenyataan bahwa banyak cerita kecil menggandung banyak kebusukan.
2)      “Postmodernisme” tidak membedakan antara ideologi, disatu pihak; dan prinsip-prinsip universal etika terbuka, dilain pihak.
3)      Kebutaan ketiga “Postmodernisme” adalah bahwa tuntutan untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil sendiri merupakan cerita besar dengan klaim universal.
Sedang menurut Ariel Heryanto[8] (dikutip dari seminar “Pascamodernisme :Relevansinya Bagi Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia Mutakhir” di Salatiga, 8-9 Oktober 1993. mengatakan bahwa : cukup banyak pendapat bahwa postmodernisme tidak perlu diperhatikan karena dianggap tidak ada yang baru darinya. Ada dua alasan yang sering dikemukakan. Postmodernisme dianggap sama dengan relativisme atau sekedar “metode kritik” yang sudah dikerjakan hampir semua isme lainnya. Bagi pihak lain postmodernisme dianggap sudah lama hadir dalam kehidupan sehari-hari, dianggap terlalu biasa dan tak pantas mendapatkan perhatian khusus.
Postmodernisme juga diserang karena dua alasan lain yang saling bertolak-belakang. Disatu pihak ia dianggap berbahaya, karena dituduh bersikap terlalu luwes, penganjur “re;ativisme” yang ekstrem, terlalu permisif, membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa batas. Postmodernisme dianggap mengobarkan semangat anything goes (“apa pun saja boleh”). Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang sama, justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.

D.    KESIMPULAN DAN PENUTUP








DAFTAR PUSTAKA



Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam, 1992
Bambang Sugiharto, Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Jurnal Kebudayaan KALAM, Postmodernisme di Sekitar Kita, Edisi I, 1994
Lihat Magnis – Suseno, 1984.
Pauline M. Resenau, Postmodernism and Social Sciences : Insight, Inroads, and Intrusion, Princeton; Princeton University Press, 1992.


[1] Bambang Sugiharto, Postmodernisme : Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996. hlm. 23.
[2] Lihat Magnis – Suseno, 1984. hlm. 92
[3] Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2005. hlm. 229.
[4] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam, 1992
[5] paradoks yang digarisbawahi Ahmed antaralain ialah : masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bias menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan Negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
[6] Pauline M. Resenau, Postmodernism and Social Sciences : Insight, Inroads, and Intrusion, Princeton; Princeton University Press, 1992. hlm. 10
[7] Frans Magnis Suseno, Op_Cit, hlm. 231-232.
[8] Jurnal Kebudayaan KALAM, Postmodernisme di Sekitar Kita, Edisi I, 1994. hlm. 82-83
Sebelumnya: Peta Perkembangan Pemikiran Islam
Selanjutnya : SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM