Pengalaman
Religius Ala Muhammad Iqbal [I]
Agama
dalam kehidupan manusia mungkin sudah tidak asing lagi perannya, bahkan banyak
yang bilang bahwasanya agama adalah petunjuk dikehidupan umat manusia. Konon orang
menjadi serba tahu akan segala hal dengan mengikuti agama, satu sisi memang ya
begitu kenyataannya tapi disisi lain kita juga tidak bisa menafikan bahkan
menutup diri bahwasanya agama banyak sekali memberikan sekat-sekat sekaligus
membatasi diri untuk berkreasi ataupun berfikir lebih jauh tentang sesuatu. Agama
terlalu spontan menjustifikasi segalanya, tanpa memperhatikan dialektikanya
seperti apa masalahnya sampai pada akar permasalahannya. Apalagi kalau agama
sudah berjalan secara mekanik dimana segalanya dipegang oleh penguasa ataupun
pemilik agama itu sendiri, seolah-olah dialah yang paling tahu segalanya tentang
kehidupan, seolah-olah hanya dialah penggerak agama. Ada benarnya juga
penyataan Email Durkheim dalam hal ini, bahwasanya agama terlahir dari fakta
sosial yang sekaligus membantu perkembangannya secara pesat itu, sehingga
lahirlah sebuah kesimpulan yang menyatakan agama tak lebih dan tak kurang
diartikan sebagai perekat sosial saja. Realitasnya terkadang ketika kita
melakukan ritual keagamaan dalam kehidupan tanpa kita sadari sesungguhnya yang
kita lakukan itu bukan semata muncul dari idea kita sendiri, melainkan
beralasan moral. Dari segi sosiologis
agama mampu menciptakan solidaritas yang kuat dimasyarakat, sehingga berakibat
pada kelangsungan proses sosial itu sendiri yang sekaligus menjadikan power
bagi pemeluk agama untuk menggerakan masyarakat sesuai keinginan para penguasa
agama.
Sering
kali fenomena-fenomena yang terjadi ditengah kerumunan masyarakat bermotifkan
agama demi kepentingan personal ataupun kelompok yang melibatkan keseluruhan
kerumunan itu ikut andil di dalamnya. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan
kekerasan yang bermotifkan agama, dimana masing-masing kelompok itu saling
memegang kebenaran yang dijadikan pedoman bahkan prinsip dalam menata
sedemikian kuatnya argumen-argumen mereka dalam menjalankan kehidupan. Terlebih
dari sebagian mereka memponis adanya kekeliruan yang terjadi pada kelompok
selain mereka, sehingga dengan adanya ponis tersebut sering kali kelompok yang
divonis tidak menerima untuk disalahkan, dengan alasan prinsip ataupun aliran
yang dianutnya berlandaskan kebenaran. Ada banyak permasalahan yang belum
terungkap pada pemegang masing-masing kebenaran itu sehingga terjadi insiden
diantara mereka, diantaranya barangkali kalau saja masing-masing dari mereka sadar
bahwasanya proses keberagamaan itu tidak bisa ditanamkan oleh orang lain selain
dirinya sendiri, pasti tidaklah akan terjadi saling ejek, saling
gontok-gontokan, dst, yang berakhir dengan kekerasan. Ironisnya dalam wadah
yang samapun sering terjadi konflik akibat perbedaan dalam hal pelaksanaan
peribadatan, padahal hal itu bukanlah suatu permasalah besar dalam proses
beragama melainkan hanyalah salah satu perwujudan yang unik guna menuju tujuan
yang sudah ditemukan barangkali, itupun kalo memang ya merasa beragamanya
dengan sepenuh hati dan keyakinan tanpa terkecuali.
Dari
mana sebenarnya agama berasal? Disini agama dalam bentuknya yang memang sudah
lebih maju, yaitu agama bergerak dari individu kepada masyarakat yang
menyebabkan posisi agama itu sebagai suatu pegangan dalam hidup menawarkan sebuah produk siap saji
dalam istilahnya, dimana manusia tidak usah lagi melakukan sebuah pencarian
Tuhan nya, manusia tidak usah lagi repot-repot membuat sedemikian peraturan
dalam kehidupan. Ok lah dalam hal beragama manusia boleh punya prinsip seperti
diatas sebagai pondasi keberagamaannya, dengan menerima dogma dan
doktrin-doktrin yang diberikan oleh para pemuka agama. Janji atau kepastianpun
sering kali diutarakan dalam doktrin seperti ini seperti halnya dengan hidup
beragama kita lantas akan bertemu Tuhan, dengan beragama hidup kita menjadi
tenang, penuh kedamaian, dan sejahtera. Pertannyaannya sederhana, apakah dengan
perasaan tenang dan damai itu lantas kita dikategorikan bahagia? Karena salah
satu tujuan dari hidup beragama itu memang mencari kabahagiaan. Bukankah
kategori- kategori seperti yang dapat membunuh kreatifitas keberfikiran kita? Sikap
kritis sebagai reaksi dari atas semua itu sering kali bergumam dalam benak
“mungkinkah Tuhan itu dapat dijumpai lewat perbuatan yang penuh kekosongan
tanpa disertai kesadaran?” ini dia barangkali yang menyebabkan kurangnya rasa
kepercayaan pada diri sendiri sekaligus percaya pada Tuhan.
Pada
sisi ontologis agama juga dikatakan sebagai pengalaman individual. Proses
seperti inilah yang diharapkan, memang pada dasarnya hal beragama yang paten
mesti lewat pengalaman individu agar memiliki makna yang lebih berarti dengan kepercayaan
yang kokoh tentunya. Agama lebih membutuhkan suatu dasar rasional daripada
hanya sekedar dogma–dogma ilmu pengetahuan belaka. Ilmu pengetahuan tidak bisa mengenal
arti metafisika secara rasional dan memang selama ini tidak mengenalnya. Maka
sukarlah bagi agama untuk menutup mata dalam mencari suatu penyelesaian tentang
pertentangan-pertentangan pengalaman serta alasannya tentang lingkungan tempat
kemanusiaan menemui dirinya. Itulah sebabnya, mengapa Prof.Whitehead dengan
tegas mengatakan bahwa “usia iman itu setua usia rasionalisme”.
Untuk
penyelidikan lebih jauh tentang dasar-dasar rasional dalam Islam barangkali
orang perlu memulai dari Nabi Muhammad sendiri.
Seperti yang telah kita ketahui, filsafat Yunani memang telah menjadi
tenaga kekuatan yang luar biasa dalam dunia Islam. Sekalipun Islam sendiri
tidak bisa menafikan kedahsyatan filsafat Yunani dalam dunia pemikirannya, salahsatunya
mampu berperan membuka ahli-ahli pikir Islam yang dalam beberapa hal filsafat
Yunani itu kemudian secara merata telah mengaburkan pandangan mereka tentang
Al-Quran. Salah satu contohnya dalam logika Aristoteles yang menyatakan”
manusia pasti bakalan mati, tumbuhan pasti bakalan mati, binatangpun pasti
bakal mati”. Al-Quran pun memang membicarakan hal serupa yaitu ”setiap mahluk
hidup pasti bakal mati”. Hal ini membuktikan bahwasanya temuan-temuan pola pikir
umat manusia sebagian sudah diungkap jauh-jauh hari sebelum Al-Quran
datang.
Ada
suatu pernyataan menarik yang patut digaris bawahi bahwa Islam adalah agama
yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, yakni dasarnya bisa
dijelaskan secara rasional dan logis. Garis besarnya dalam pembuktian filsafat
tentang pengalaman religius yakni filsafat skolastik mengajukan beberapa
argumentasi tentang adanya Tuhan. Yakni argumen kosmologis, teleologis dan
argumen ontologis, merupakan suatu gerakan pemikiran yang nyata dalam
usahanya mencari jawaban tentang zat
yang mutlak. Namun dipandang sebagai sebagai pembuktian-pembuktian logika,
tidak terlepas juga dari kekhawatiran argumen-argumen tersebut, mudah sekali
untuk mendapatkan kritik yang serius, dan disamping itu menunjukan suatu
penafsiran yang agak dangkal tentang
pengalaman. Argumen kosmologis menganggap dunia sebagai suatu akibat yang
terbatas, dengan memulai sebab akibat kita akan sampai pada sebab pertama,
yakni sebab yang tidak diakibatkan oleh adanya sesuatu lain sebelumnya bila itu
kita usut sejauh-jauh jangkauan pikiran. Argument teleologis juga tidak lebih
baik, ia menyelidiki akibat untuk menemukan sifat-sifat sebabnya. Argumen
ontologis, yang dikemukakan dalam pelbagai bentuk oleh banyak ahli piker,
adalah argument yang senantiasa menarik hati alam pikiran spekulatif.
Berkenaan
dengan pergolakan dalam hal beragama, bakalan lebih menarik lagi apabila kita
membaca ataupun merenungkan puisi-puisi ASRAR-I-KHUDI dalam catatan awal menuju
puisi-puisi Humanisme Timur Iqbal. Bukankah jalan yang berliku ataupun
berbelok-belok itu lebih menyenangkan daripada jalan yang lurus, setidaknya
bakal memberikan keasyikan tersendiri untuk mencapai sebuah tujuan beragama
tentunya. sekaligus bercermin sejauh mana keberadaan kita saat ini? Atau adakah
diri kita ini?
Pengingkaran Terhadap Pribadi
Pernahkah kau dengar kisah kehidupan dahulu
kala
Dimana sekawanan kambing hidup bebas dipadang
terbuka
Berkembang biak dengan leluasa dan tenaga
mereka luar biasa
Hingga mereka berani menghadapi hewan pemangsa
Namun, karena perkembangan zaman semakin buruk
Panah bencana menancap di dada mereka
Dan dari huta belantara harimau datang memburu
Memangsa mereka semua.
Merebut serta menjajah adalah symbol kekuasaan
Kejayaan wujud dari kekuatan
Harimau yang dahsyat itu menabuh generang
kemenangan
Mereka rebut kemerdekaan sang kambing.
Karena harimau harus mendapatkan makanan
Maka padang luas itu banjir oleh darah kambing.
Tapi, seekor kambing tua
Licik, penuh tipu daya seperti srigala
Dia amat sedih menyaksikan nasib
kawan-kawannya
Kambing tua itu marah atas kebiadaban sang
harimau
Namun dia pasrahkan keluh kesahnya dijalan
takdir
Dan bertekad untuk memperbaiki nasib kaumnya.
Dan, hai, manusia yang lemah, lindungi dirimu
Gunakan akal budi
Biar terjerat penderitaan, asalkan lolos dari
bencana kebiadaban
Badai pasti berlalu tapi apabila diperdaya
dengan kesumat
Kekacauan besar yang dipikirkan.
“sangant menderita nasib kita,” keluh kambing
pada dirinya,
“samudera penderitaan tak berpantai tak
bertepi.”
Dengan kekuatan semata tak mungkin kita lepas
dari bala
Itu tak mungkin, betapapun kita bersepakat
Merubah kambing berjiwa harimau
Merubah harimau berjiwa kambing-betapapun itu
mustahil
Bagaimana membuat sesuatu lupa akan
fitrahnya?? Mustahil!
Maka kambing itu menjelma seperti nabi yang
mendapatkan ilham
Dia berseru kepada kawanan harimau:
“wahai kaum pendusta yang durjana
Yang tak peduli akan hari bencana
Yang berulang-ulang mendera dunia ini!
Aku memperoleh kekuatan ruhani
Akulah utusan Tuhan untuk kaum harimau
Aku datang bagai bagi mata buta
Aku datang membawa himbauan
Bertobatlah wahai engkau srigala dari segala
laku tercela
Hai, kaum pendosa. Kembalilah kalian ke jalan
yang bercahaya
Kita semua-tak terkecuali-pasti mengalami
bencana:
Keteguhan haidup duniawi tergantung bagaimana
kita menahan diri
Ruh orang saling gemar akan makanan sederhana
Makan sayur mayor membuka jalan menuju Tuhan
Gigi yang tajam mengundang bencana
Akan butalah mata hatimu.
Taman firdaus diperuntukan bagi orang-orang
yang lembut
Kekukatan tenaga akan menciptakan malapetaka
Berdoalah mereka yang mengagungkan berhala
kebendaan
Kemiskinan lebih manis dari segala harta
duniawi
Kilat dan petir tak membakar bibit gandum
Tapi jika bibit menjadi tumpukan gandum itu
keliru.
Jika kau bijak, jadilah sebutir pasir, bukan
gurun sahara
Agar kau rasakan nikmat cahaya matahari
Wahai kau yang menikmati penyembelihan kambing
Coba kau bunuh dirimu sendiri, niscaya akan
kau raih martabat tertinggi
Hidup gelisah oleh penindasan, kekerasan,
dendam kesumat dan kekuasaan.
Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah
punah
Dan berkali diusapnya untuk maut dari mata.
Jika kau bijaksana, ayo lupakan dirimu
Kalau tak sanggup kau menahan diri, kau orang
yang gila
Redam pancainderamu
Agar cintamu mencapai langit
Dunia tak abadi
Hai si bodoh, jangan siksa dirimu dengan
impian kosong!”
Kawanan harimau itu telah teramat lelah dengan
perjuangannya
Kini mereka puas mereguk pesta pora.
Petuah sang kambing begitu nikmat bagi mereka
Lalu mereka resapi pesona kambing dengan
nikmat
Mereka ikuti ajaran agama sang kambing
Mereka pun kini gemar makan makanan sederhana
Watak keharimauan mereka hapus sudah
Makanan yang sederhana menumpulkan gigi mereka
Berangsur pupus pula keberanian dari dada
mereka
Kaum harimau jadi lemah dan apatis
Sirna sudah kedaulatan dan keteguhan tekad
bangsa merdeka
Tak ada lagi kejayaan
Kaki mereka yang setegar baja kini tak berarti
sama sekali
Jasad mereka tinggalah kubur kenangan bagi
kematian jiwa
Tak ada lagi kekuatan jasmani, kini tinggal
takut dan cemas menebal
Dalam jiwa yang goyah, keberanianpun mati
Tak kuasa lagi menebar penyakit dan bencana-
Miskin, waswas, dan rendah amal kebajikan,
Harimau perkasa puas lena akan pesona filsafat
kambing
Dinamainya kemerosotan era ini dengan:
Kebudayaan Peradaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar